Oleh: Solo Mamma
Salengrang itulah nama desaku, terletak kurang lebih 8 kilometer sebelah utara kota Maros. Salengrang memang salah satu desa di Kabupaten Maros. Luas tanahnya hanya kira-kira sekitar 12.5 kilomter persegi, dihuni 5.100 jiwa orang. 90 persen penduduknya petani sawah tadah hujan. Kurang lebih sepertiga luas wilayahnya terdiri dari hutan nipa, dikelilingi sungai rawa yang pada musim kemarau airnya asin tidak ubahnya air laut.
Setelah musim tanam padi selesai dan sambil menunggu masa panen, sebagian penduduknya memanfaatkannya menebang pohon nipa untuk dibuat atap lalu dijual ke kota. Dan bagi mereka yang tidak memiliki areal pohon nipa, waktu menunggu panen dipergunakan memecah batu gunung sebagai mata pencaharian tambahan. Bongkahan-bongkahan batu gunung itu kemudian dijual ke pemborong bangunanan atau siapa saja yang membutuhkan batu gunug sebagai pondasi bangunan rumah atau pengerasan jalan raya. Gunung batu di Salengrang adalah pemasok utama pengerasan jalan raya antara Sungguminasa sampai ke Kabupaten Pangkep dan 90 persen pondasi rumah permanen di Makassar dan sekitarnya berasal dari batu gunung di Salengrang, disamping batu gunung dari Kabupaten Pangkep, hal itu sudah berlansgung sejak puluhan tahun yang lalu sampai saat ini. Memecah gunung batu diperlukan fisik dan stamina yang kuat. Bagi penduduk yang tidak memiliki persyaratan itu harus rela menggunakan waktu luangnya menjadi nelayan kecil-kecilan di sungai.
Kondisi geografis Salengrang seperti itu menyebabkan air tawar pada musim kemarau menjadi sangat langka, bahkan boleh dikatakan tidak ada sama sekali. Untuk mendaptkan air tawar penduduk harus rela berjuang menempuh jarak sampai 5 kilometer ke desa lain. Untuk mengambil air tawar di musim kemarau biasanya penduduk menggunakan perahu-perahu kecil.
Suatu hari ketika aku masih kecil, usiaku baru sekitar empat tahun, namun aku sudah ingat betul dan tidak pernah hilang dalam ingatanku peristiwa yang mendebarkan hati. Waktu itu aku dibawa ayahku ikut serta mengambil air tawar di desa tetangga dengan menggunakan perahu kecil yang baru dibuat oleh pamanku. Oleh ayahku perahu itu diisi air tawar sampai penuh dan hanya tersisa kira-kira 5 cm ke permukaan air sungai. Setelah itu kami berdua naik ke perahu itu. Ayah duduk di buritan sambil mendayung dan aku sendiri duduk manis di haluan. Selang beberapa lama kemudian setelah perahu kecil kami yang penuh dengan air tawar menyeberangi Sengka Panrrang, sungai yang paling lebar diantara sungai di Salengrang, mendadak angin barubu bertiup kencang. Seiring dengan itu air sungai yang tadinya tenang tiba-tiba bergelora, ombak besar bergulung-gulung menghatam perahu kecil kami yang penuh dengan air tawar. Perahu kami oleng ke kiri dan ke kanan mengikuti irama ombak. Ayahku berusaha membuat keseimbangan agar perahu kami tidak terbalik, namun usahanya sia-sia karena arus air sungai yang makin kuat dan gelombang semakin tinggi, akhirnya perahu kami hilang keseimbangan lalu terbalik. Aku jatuh ke dalam sungai dan secepat kilat ayahku sudah menghampiriku dan dengan sigap tangannya berhasil menggapit pinggangku, kemudian beliau mendudukkan aku diatas pundaknya sambil berenang dengan gaya berdiri beliau membawa aku ketepi sungai. Setelah aku sampai di tepi sungai dan dapat berdiri sendiri karena sudah berada pada air yang dangkal, ayahku berenang kembali ketengah sungai berusaha untuk menggapai perahu kami yang sudah terbalik. Akhirnya pada sore hari itu kami kembali ke rumah dengan tangan hampa tanpa setetes air tawar yang terisasa.
No comments:
Post a Comment